Tingkatan-tingkatan Jiwa,

Pengertian Jiwa, hati dan akal
A.    Pengertian Jiwa (Nafs)

Kata Nafs dalam al-Quran mempunyai beberapa makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud dari firman Allah Swt.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

Oleh karena itu kami tetapkan(suatu kaum) bagi Bani Israel, bahwa barang siapa yang telah membunuh seorang manusia bukan karena orang itu  (membunuh orang lain), atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan – akan ia telah telah membunuh manusia seluruhnya. Maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dan sesungguhnya telah dating kepada mereka rasul-rasul dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

Pada makna yang lain, kata Nafs kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, sebagaimana yang disyaratkan pada firman Allah Swt.,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

           Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’ad [13]: 11).
Pada makna yang lain, kata Nafs digunakan juga untuk menunjukkan kepada Diri Allah Swt., Seperti diisyratkan dalam firman-Nya:
قُل لِّلَّهِ ۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
            Allah telah mewajibkan atas Diri-Nya menganugrahkan rahmat. (Q.S. al-An’am[8];12)
Dalam pandangan al-quran, nafs diciptakaan Allah Swt. Dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Al-quran menganjurkan untuk memberikan perhatian lebih besar, sebagai diisayaratkan dalam firman Allah Swt.,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا  O  فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
dan bumi serta penghamparannya, ( 7 )   dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Menurut sebagian ahli tasauf, an-nafs (jiwa) adalah ruh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan ruh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh.sebab dari pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh ruh. Jika jasad tidak memiliki tuntunan-tuntunan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekang nafsu, sedangkan qalbu tetap sehat, maka tuntunan-tuntunan jiwa terus berkembang sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

Jadi, ruh adalah akhir atau ruh yang diturunkan Allah Swt, atau ruh yang menzhohirkan ke dalam jasadiyah manusia dalam rangka menghidupkan jasadiyah itu, menghidupkan Qalbu., akal fikir, indrawi, dan menggerakkan seluruh unsur dan organ-organ dari jasadiyah tersebut agar dapat berinteraksi dengan lingkungannya di permukaan bumi dan dunia ini.
1.      Tingkatan-tingkatan Jiwa (nafs)
a.       Jiwa Rabbani
Yaitu jiwa (Nafs) yang telah menerima pencerahan dan kehidupan ketuhanan. Jiwa pada tingkatan ini dibagi kepada empat kelompok jiwa, yaitu:
·         Jiwa Mutmainnah : yaitu jiwa yang telah menerima pencerahan dan kehidupan ketuhanan pada fase pemuala atau awal. Pada fase ini jiwa telah memperoleh ketenangan dan kedamaian, karena ruh diri telah berhasil bersatu dengan jasmaniyahnya, serta jasmaniyahnya telah terlepas dari hawa nafsu materi, hewani, dan kemakhlukan. Ia bermukim di alam malakut (kemalaikatan).
·          Jiwa Radhiyah : yaitu jiwa yang telahmenerima penghianatan pencerahan dan kehidupan ketuhanan yang lebih tinggi. Pada fase ini jiwa telah menyatu dengan ruh awalnya yang berada di arwah yang tinggi. Alam yang sangat lapang luas, yang tiada terbatas. Jiwa pada fase ini telah laluasa menggerakkan aktifitas jasmaniyah dan ruhaniyah yang sangat lapang, dan tidak satu pun yang dapat menghalanginya. Lapang dalam menjalankan perintah-Nya, lapang menjauhi larangan-Nya, dan lapang dalam meniti ujian-ujian-Nya yang berat. Ia bermukim dalam Jamrud (Alam khazanah kekuasaan Allah Swt).
·         Jiwa Mardhiyah; yaitu jiwa yang telah menerima peningkatan pencerahan dan kehidupan ketuhan tertinggi. Pada fase inilah yang telah menyatu. Dengan asal-usul ruhnya. Yaitu Ruh al-Azham atau Nur Muhammad Saw. Jiwa telah benar-benar Fana’ ul fana dan baqa’ billah (lebur diatas keleburan dan berkekelan dalam bermusyahadah terhadap keagungan  (Jalaliyah), keindahan (jamaliyah) keindahan (jamaliya), keperkasaan (qabariyah) dan kesempurnaan (kamaliyah) Wujud Allah SWT. Ia bermukim di dalam labut (Khazanah ketuhanan Swt.)
·         Jiwa kamilah ; yang telah menerima keadaan yang ketiga  tingkatan jiwa tingkatan jiwa itu. Ia bermukim pada Haq ta’ala yang tidak bertempat, tidak berwaktu , dan tidak terlepas dari segala sesuatu dari Allah Swt. Itulah jiwa nabi kita Muhammad  Saw.
b.      Jiwa Insani
Yaitu jiwa yang berada antara jiwa rabbani dan jiwa hewani. Ketika suatu waktu ia menghadap ke ruhaninya ia sadar dan timbul rasa penyesalan, dan di lain waktu ia lebih condong kepada jasmaniyah, ia melakukan pengingkaran dan kedurhakaan dengan mengikuti tuntunan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniyahnya yang lebih bersifat materialistik dan kemakhlukan. Jiwa ini disebut jiwa Lawwamah, sebagaimana diisyaratkan dan firman-Nya,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).(Q.S. al-Qiyamah[75];2)
Jiwa Lawwamah, adalah jiwa yang mendapatkan cahaya hati sehingga bias tersadar dari kelalaian yang telah diperbuatnya. Dan apabila telah diterangi oleh cahay hati, maka jiwa itu menggerakkan diri jasmaniyah itu kepada amal perbuatan yang semakin lebih baik, jiwa ini ring kita tem diantara kecenderungan pada rubbubiyah (ketuhanan) dan khalqiyah (kemakhlukan). Bila ia berbuat kejahatan, maka hal itu disebabkan karena perangainya yang berasal dari kegelapan, namun bila ia telah mendapat kan nur dari Allah, maka ia segara akan menyelesaikan serta bertobat dari kejahatan yang telah diperbuatnya dengan mengucap istighfar serta meminta ampunan-Nya, sehingga ia kembali kepada tuhannya yang maha pengampunan.
Seperti sering kita temukan dalam aktifitas kehidupan sehari hari,bahwa ada seorang hamba setiap hari hati nuraninya selalu mengajak dan menyerunya agar bangun malam untuk melaksanakan sholat malam.ia berusaha agar dapat memenuhi tuntunan nuraninya,ia gunakan jam dengan memutar alarm atau belnya pada jam yang diinginkannya. namun apa yang terjadi,ketika bel berbunyi seperti yang ia harapkan ia terbangun dalam tidurnya.ketika itu ia duduk sejenak,lalu dalam hatinya terdengar ucapan, “ matika saja bel jam itu lalu kau pergi tidur lagi, nanti saja” atau “ tunggu sebentar,” dan sebagainya. Lebih fatal lagi bisikan-bisikan jiwa Lawwamah itu mengatasnamakan Allah Swt. Dan Rasul-Nya, dengan kata-kata, “Walaupun kamu tidak bangun yang penting nantinya,” atau “ Allah Maha tahu. Dia tidak membebani hamba-Nya, kecuali sebatas kemampuannya,” atau “ Allah mengatakan: bertaqwalah menurut kemampuan’ dan seterunya”. Namun keesokan harinya, timbul suatu penyesalan, mengapa tadi malam saya tidak melaksanakan shalat malam padahal sudah bangun.
c.       Jiwa Hewani
Yaitu jiwa yang sejalan dengan watak manusia yang selalu mengajak hati mereka kepada perbuatan syahwat dan kesenangan. Jiwa ini merupakan pangkal kejahan dan menjadikan jasad sebagai pohon dari semua fisik yang keji dan prilaku tercela, dengan mengajak kepada pekerjaan yang jahat serta meninggalkan pekerjaan yang baik. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt.,
Jiwa hewani ini disebut dengan “ nafsu amarah bissu”. Ia selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap, dan tindakan kejahatan atau syahwat hewaani dan kesenangan kepada kejahatan. Paling tidak dorongan kejahat itu mengarah kepada tiga hal besar, yakni:
·         Syahwat dan kesenangan terhadap harta benda; sehingga melahirkan kerakusan, perampokan, pencurian, manipulasi, korupsi, bahkan kekerasan fisik, seperti pembunuhan dan penganiayaan.
·         Syahwat dari kesenangan terhadap sex; sehingga melahirkan kejahatan dan kekejian berupa berzina, pemerkosaan dan penyimpangan seksualitas lainnya,nbahkan hanya karena persoalan sex terjadi pembunuhan dan penganiayaan fisik.

·         Syahwat dan kesenangan terhadap jawabatan dan kedudukan; sehingga melahirkan para pejabat dan pemimpin yang zhalim, tirani, otoritas, bahkan diktator. Akhirnya menindas siap saja yang akan menghalang-halangi kekuasaan dengan menghalalkan berbagai macama acara. 
2.      METODE PENYUCIAN DAN PENYEHATAN JIWA
            Kesehatan jiwa (Nafs) sangat erat hubungannya dengan kesehatan mental, karena akan menyinggung persoalan akal fikiran, ingatan atau proses-proses yang berhubungan erat dengan akal fikiran dan ingatan. Kesehatan jiwa yang dimaksud di sini adalah bersih dan suci jiwa dari pengaruh atau hawa, hembusan, dan energy yang mendorong dan menggerakkan jiwa untuk melahirkan sikap, perbuatan, dan tindakan yang menyimpang dari apa-apa yang telah digariskan oleh wahyu ketuhanan (al-Qur’an) dan sabda kenabian (as-sunnah), atau dengan kata lain, jiwa yang sehat itu adalah jiwa yang senantiasa memancarkan cahaya ketuhanan (Nur Nabi Muhammad Saw). Dan cahaya kehidupan (Ruh al-A’zham). Sehingga dapat cahaya-cahaya itu jiwa akan senantiasa steril dan terjaga dari virus-virus yang sangat membahayakan, yaitu iblis dan setan yang terkutuk.
            Adapun metode yang digunakan untuk penyucian dan penyehatan jiwa ada lima metode, yakni sebagai berikut:
·         Meningkatkan kualitas spiritual
Yaitu dengan memperbanyak beribadah, namun yang menjadi fokus utama adalah ketaatan menjalankan ibadah puasa, baik puasa wajib (Ramadhan) ataupun sunnah (tiga hari setiap bulan, senin dan kamis atau puasa Nabi Daud As).
·         Meningkatkan kualitas mental
Yaitu senatiasa belajar dan berlatih membiasakan diri berfikir positif, bersikap positif, berprilaku positif, bertindak positif, dan berpenampilan positif.
·         Meningkatkan Kualitas Sosial
Yakni senantiasa belajar dan berlatih melihat, menyaksikan, dan turut merasakan penderitaan orang lain. Sesering mungkin melihat ke bawah, yakni kepada orang-orang yang lebih susah dan mengalami kekurangan ekonomi, namun sebagian mereka tetap tabah dan penuh rasa percaya diri di hadapan Allah Swt. Sesering mungkin memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang yang benar-benar membutuhkannya, baik berupa materi, finansial, moral, maupun spiritual.

·         Meningkatkan Wawasan Tentang Orang-orang yang Berjiwa Besar dan Seahat Secara Holistik.
Dengan cara mempelajari riwayat hidup mereka. Seperti : sejarah para nabi, sahabat-sahabat beliau, auliya-Nya.

·         Meminta Bimbingan Ahlinya
Sebab dengan mealalui ahlinya maksud dan tujuan penyucian dan penyehatan jiwa akan dapat tercapai dengan cepat, tepat, mantap, dan meyelamatkan.
            Apabila kelima hal di atas telah senantiasa dapat dilaksanakan konsisten, Insya Allah kondisi jiwa tetap senantiasa berada dalam limpahan Nur-Nya, baik dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi sempit. Sehingga ia akan selalu dapat menghalau dorongan hawa syahwat, kesenangan, kecintaan, dan kemabukan terhadap harta benda, dunia, kedudukan, jabatan, dan kehormatan dunia. Bahkan hakekat dan energi dari dorongan itu menjauh dari jiwa itu. Hal itu disebabkan karena rasa takut dan hormatnya terhadap jiwa yang telah menerima ketajallian cahaya tuhannya. Andaikan harta benda, dunia, dan segala isisnya, serta kedudukan dan jabatan yang diberikan kepadanya, maka sedikitpun dari semua itu tidak akan memalingkannya dari tuhannya. Bahkan justru menambah-nambah kesucian dan keagungan jiwa itu.
            Oleh karena itu, bagi siapa saja yang tertrrik untuk mengkaji serta memahami eksistensi dan gejala jiwa, maka ia terlebih dahulu mengkaji dan memahami jiwanya sendiri dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang jiwa (Nafs) ini tidak akan mungkin dapat diraih dengan sempurna, lengkap, dan utuh tanpa melalui penghayatan dzauq (rasa yang dalam), kasyaf (ketersingkapan mata batin) dan musyahadah (penyaksian batin secara langsung sebagai pelaku). Potensi ini akan hadir dalam jiwa yang bersih, suci dan sehat. Sebagaiman diisyaratkan dalam firman Allah Swt,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ,  فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا, فدافلح من زكها , وقدخاب من دسها    
 dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),(8) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(9) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,(10) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. as-Syams [91]: 7-10)

Kemenangan dan keberuntungan akan selalu dapat diraih oleh orang-orang yang mensucikan dan menyehatkan jiwanya, sehingga ia dapat menangkap isyarat ketakwaan, itulah jiwa muthmainnah, radhiyah, mardhiyah. Sedangkan kekalahan dan kerugian akan selalu diterima oleh orang-orang yang mengotori dan memberi penyakit pada jiwanya, sehingga ia lebih memilih isyarat kefasikan dan kejahatan, itulah jiwa amarah bissu.
Previous
Next Post »